Saturday, 8 June 2019

Mengapa Sastrawan Ditakuti Penguasa Zalim?

Sekalipun tidak memegang bedil, berondongan kata-kata sastrawan memiliki kemampuan menggerakkan masa tak terbilang. Kata-katanya hidup tak lekang oleh zaman, mengusik jiwa-jiwa untuk memberontak menegakkan keadilan.

Karya sastra adalah energi yang hidup, menyuburkan keberanian untuk tumbuh. Manusia sering tidak menyadari kemampuan imajinasinya yang tak terbatas. Kebuntuan senantiasa mudah diterobos oleh pikiran imajinatif, itulah dahsyatnya kekuatan sastra.

Saat membaca karya sastra, pembaca mulai dirangsang imajinasinya, membayangkan tokoh-tokohnya, tentang penampilan mereka, dandanan mereka, ekspresi wajah mereka, ruangan atau alam terbuka di lokasi cerita, semuanya tampak sebagai gambar hidup dalam imajinasi para pembaca.

Pengalaman berimajinasi ini menyadarkan para penikmat sastra akan kekuatan pikirannya menembus dan melampaui realita fisik dan material. Mereka menyadari bahwa realita fisik bisa diciptakan dari dan dimulai dari imajinasi. Mereka menyadari bahwa segala kemungkinan bisa dibuat dengan imajinasi sehingga realita dan keadaan fisik yang ada bukanlah batas yang tidak bisa ditembus.

Statusquo adalah kenyamanan bagi penguasa zalim dan kebodohan adalah lahan subur bagi penguasa zalim untuk bisa terus hidup dalam kemewahan. Sastra adalah ancaman bagi kelangsungan hidupnya yang nyaman, sebab akan membangunkan orang-orang yang selama ini menjadi pelayan setianya.

Berjuang di jalan sastra adalah cara untuk menghidupkan obor kemerdekaan bagi jiwa-jiwa tertindas. Jiwa-jiwa yang akan bangkit membebaskan diri mereka sendiri dari penjara kebodohan.

Laskar pembaharu bumi bermunculan saat daya hidup mereka meneguk air kehidupan dari sastra yang merasuki jiwa mereka.

“Dunia ini adalah kanvas untuk imajinasimu. Kau adalah sang pelukisnya. Tidak ada aturan apa yang harus kau lukis. Ayo kerjakan saja, berimajinasilah seluas-luasnya.” 


...((( 💓 )))... 























No comments:

Post a Comment