Orang yang emosional cenderung tidak akan berpikir panjang, tidak mengamati keadaan dan situasi dengan cermat. Saat emosi terusik, pikiran negatif yang muncul, informasi tidak dibaca dengan teliti dan pikiran sibuk membuat asumsi-asumsi. Tentu saja kesimpulan-kesimpulan yang dibuat akan misleading. Inilah mengapa dikatakan orang yang emosional hidup dalam ilusi.
Sikap emosional membuat orang gagal paham, logika yang dibangunnya tidak cermat dan lebih untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya untuk marah. Dalam keadaaan seperti ini, orang yang emosional sulit untuk dibantu, sebab baginya tidak ada penjelasan yang masuk logikanya. Ia akan cenderung difensif dan mencari-cari pembenaran dari pada melihat kemungkinan lain. Pemikiran yang berbeda akan cenderung dianggap lawan dan musuh yang menyerangnya, semacam halusinasi.
Konflik-konflik di antara manusia, termasuk konflik-konflik politik bersumber dari perilaku emosional kolektif. Inilah mengapa konflik-konflik terlihat ruwet dan rumit dan kian menjadi-jadi saat masyarakat terlibat dalam sengketa-sengketa emosional.
Hoax-hoax lahir dari konflik-konflik emosional dan semakin membesar oleh karena sikap-sikap emosional yang terburu-buru dilontarkan ke publik. Tanggapan-tanggapan emosional semakin menambah ruwet dan kubu-kubu permusuhan semakin membesar. Bisa diperhatikan media sosial selama bertahun-tahun ini lebih banyak diisi dengan lontaran-lontaran hujatan emosional dan masyarakat tenggelam dan kubu-kubu permusuhan dengan anggapan-anggapan kebenaran masing-masing.
Inilah mengapa masyarakat yang terbiasa melontarkan kata-kata emosional ke ruang publik jatuh dalam kegelapan pekat, seolah tidak ada solusi selain menghancurkan, menghabisi dan menghapus pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan. Orang tidak punya rasa segan atau malu melontarkan hujatan dan kata-kata kasar. Orang juga dengan mudah setuju dengan tindakan-tindakan keras untuk menghabisi yang dianggap musuh.
Penjajahan dan penguasaan suatu bangsa atau negara oleh suatu pihak, yang disebut dalang, tidak akan terlihat dan disadari oleh masyarakat. Bahkan, seringkali kedua belah pihak yang berkonflik tidak menyadari masing-masing pihak hanya dimanfaatkan emosi mereka. Mereka tidak sadar bahwa sikap emosional mereka justru membela dan mendukung para penjajah.
Sesungguhnya tidak akan ada masyarakat atau bangsa atau negara yang akan bisa dijajah oleh bangsa atau negara lain jika mereka tidak bersikap emosional. Masyarakat yang damai, santun dalam bicara dan sikap, saling menghormati satu sama lain akan terlalu cermat, teliti, cerdas dan bijaksana, yang dengan demikian terlalu kuat hubungannya satu sama lain untuk bisa diadu domba, saling menghancurkan dan dikuasai.
Jadi, bangunan masyarakat yang kuat, cerdas dan kreatif sebenarnya dimulai dari budaya santun, bukan dari kekuatannya menghardik dan menggunakan kekerasan. Kekerasan dan kekuatan militer bahkan bisa digunakan pihak lain untuk menguasai masyarakat dan bangsa yang sikapnya emosional. Bisa perhatikan bahwa negara-negara yang terus-menerus terlibat konflik internal dan eksternal terjadi karena sikap-sikap emosional masyarakatnya sendiri.
Ada satu petuah bijak yang mengingatkan dalam hal ini: “Sura diro hayuningrat lebut dening pangastuti”, yang artinya “segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut, dan sabar.” Semua konflik dan permusuhan yang terjadi di bumi ini hanya akan dapat diselesaikan dengan sikap damai, yakni cinta dan kebijaksanaan. Hanya cahaya cinta yang dapat mengubah kegelapan menjadi terang.
“Kau akan terus-menerus menderita jika kau selalu bereaksi emosional terhadap segala sesuatu yang dikatakan kepadamu. Kekuatan yang sesungguhnya adalah duduk dengan tenang dan mengamati segala sesuatu dengan cermat dan nalar sehat. Jika kata-kata yang dilontarkan orang dapat mengendalikan dirimu, itu berarti setiap orang lain dapat mengendalikan dirimu. Tarik dan hembuskan nafas panjang dan biarkan hal-hal berlalu.”
~Bruce Lee
…((( 💓 )))…