Wednesday, 7 February 2018

Membumi dan Hidup dalam Kelimpahan


Membumi bisa diartikan mendarat di bumi atau menjawab persoalan secara tepat. Lawannya adalah terbang di awang-awang, muluk, jawaban yang mengambang tidak mengena ke pokok persoalannya. Orang yang membumi mampu melihat pokok masalahnya dan memberikan solusi langsung ke pokok masalahnya.

Jawaban persoalan yang berhenti hanya dengan doa memohon pada Tuhan dan menyalahkan setan, orang lain atau keadaan bukanlah jawaban yang membumi. Spiritualitas mengajak dan melatih orang untuk grounding atau membumi. Spiritualitas berarti menggunakan daya hidup untuk benar-benar hidup.

Seringkali orang sangat emosional dan ledakan emosinya mengaburkan pandangannya pada semua fakta dan keadaan. Itulah mengapa dikatakan banyak orang hidup dalam ilusi. Apa yang dikatakan seseorang sering hanyalah suatu perspektif dari sudut pandangnya semata dan itulah mengapa ada beragam pendapat tentang hal yang sama. Perdebatan sengit sampai pertengkaran terjadi oleh karena emosi yang meledak-ledak. Pandangan bias oleh sikap emosional.

Persoalan-persoalan manusia bersumber dari sikap-sikap emosionalnya sendiri sehingga tidak mampu merespon dengan tepat dan mengakibatkan apa yang disebut penderitaan. Manusia juga sulit mendapatkan panduan untuk keluar dari persoalannya karena sikap emosionalnya sendiri.

Sebenarnya manusia telah memiliki semua yang diperlukannya untuk hidup damai sejahtera yakni alam dan kemampuan berpikir. Yang diperlukan hanya menggunakan pikirannya untuk hidup selaras dengan kelimpahan alam. 



Sebagai contoh suku Baduy mengisolasi diri untuk melindungi diri mereka dan memelihara hidup mereka dalam kelimpahan alam. Jika apa yang diperlukan dalam hidup ini adalah makanan yang cukup, kesehatan dan kegembiraan maka alam telah menyediakannya. Jaminan kesehatan bukanlah memiliki polis asuransi sehingga dapat berobat yang memakan biaya jutaan rupiah, melainkan mengkonsumsi makanan yang sehat yang dikenal dengan makanan organik bebas dari bahan kimia yang meracuni tubuh. Obat yang tepat adalah herbal yang menetralisir kadar ph sehingga kekebalan tubuh alamiah yang dibantu oleh mikroba dalam tubuh dapat berfungsi. Peremajaan sel-sel tubuh berjalan sempurna. 


Dengan lahan terbatas, sistem pertanian aquaponik organik bisa jadi pilihan untuk ketahanan pangan bergizi dan sehat bagi keluarga. 
Apa yang disebut kemajuan lebih sering justru merusak keseimbangan alam dan sifat rakus manusia membuat pengrusakan alam semakin cepat. Ekosistem mengalami kerusakan parah dan banyak yang terputus aliran rangkaiannya. Penggunaan pestisida telah membunuh banyak hewan dan bakteri yang berperan menyuburkan alam dan menjaga keseimbangannya. Saat pepohonan yang memproduksi oksigen untuk bernafas ditebangi manusia juga semakin banyak menggunakan mesin-mesin pencemar udara. Biaya hidup semakin tinggi dan ongkos berobat semakin mahal sebab yang dicari orang adalah uang untuk hidup bahagia. Tujuan hidup yang mengawang-awang tidak mendarat di bumi.

Ada banyak sumber energi yang disediakan alam secara melimpah seperti sinar matahari, angin dan air, namun manusia memilih tetap terus menggunakan sumber energi terbatas seperti minyak dan batubara yang setiap saat bisa mengalami kelangkaan dan harganya melambung tinggi. Jika itu terjadi manusia lebih banyak mengeluh lalu bertengkar hebat satu sama lain saling menyalahkan. Saat tehnologi penggunaan sumber energi baru terbarukan seperti panel surya dan turbin angin/air diperkenalkan lebih banyak mengatakan mahal dan lebih memilih membeli mobil/motor baru yang semakin mempertajam kenaikan kebutuhan minyak bumi. Manusia memilih mencari lebih banyak uang dari pada memulai menggunakan sumber energi gratis. 


Turbin angin dapat menyediakan listrik gratis

Manusia hanya perlu lebih membumi, menenangkan pikiran, memelihara emosi yang teduh untuk mampu melihat kelimpahan alam yang tersedia di depan mata dan selanjutnya melakukan tindakan nyata hidup selaras dalam kelimpahan alam.
"Saat kau mengubah persepsimu, pada saat itu kau menuliskan kembali kimiawi tubuhmu"
~ Dr. Bruce H. Lipton



No comments:

Post a Comment