Tuesday 11 September 2018

Kotbah Permusuhan yang Laris

Sejak kegaduhan pilihan politik berlangsung, setiap hari ruang publik diisi dengan ujaran kebencian dan tanpa sungkan dan malu banyak orang menulis kata-kata kasar. Banyak yang tidak menyadari integritasnya menurun dengan sikap dan tindakan itu.

Ego manusia semakin menguat, bahkan oleh mereka yang berkotbah tentang perlunya mengikis ego dan perlunya memelihara ketenangan batin. Mengekspresikan kekesalan di ruang publik dianggap sebagai hal biasa dan generasi muda belajar dari seniornya. Bangsa ini semakin dalam tercabik-cabik oleh pertengkaran dan permusuhan.

Apakah tenun kebangsaan yang terkoyak-koyak ini akan diteruskan dan dibiarkan? Kepentingan politik harus diakui ternyata menggunakan cara ini untuk mendapatkan dukungan sementara tokoh-tokoh politik yang dianggap panutan dan diidolakan sebagai pemimpin itu menikmati dukungannya​. Sementara itu mereka begitu mudahnya berganti kemitraan dengan partai lain tergantung mana yang menguntungkan kepentingannya.

Di satu daerah mereka bersaing sementara di daerah lain mereka bersekutu untuk memperebutkan dukungan. Semua itu adalah fakta gamblang namun tak terlihat oleh mata yang telah terbutakan karena awan kebencian. Nalar sehat tidak lagi digunakan.

Miris memang jika mencermati agama yang dijadikan pedoman hidup dan dianggap cahaya penerang terseret dalam permainan gaduh ini. Semua berdoa agar Tuhan membelanya dan menghukum kelompok lainnya. Setiap kemenangan dianggap sebagai restu Tuhan dan hukuman bagi kelompok lainnya.

Manusia tengah dipertontonkan tentang fakta-fakta kehidupan yang dianggapnya kebenaran. Bukankah leluhur sudah mewariskan petuah untuk menjaga mulut untuk lebih baik diam daripada menyatakan kata-kata buruk? Kata-kata amarah tidak akan pernah memperbaiki keadaan dan justru memperburuk keadaan. Kemarahan hanya akan menenggelamkan semuanya.

Saat orang tidak lagi malu mengumpat dengan kemarahan dan dianggap sebagai hal biasa bahkan membawa nama Tuhan, semua digelapkan matanya dari Tuhan sejati yang Maha Cinta dan Pengampun. Manusia jatuh pada sesembahan yang pengutuk, pemarah, pendendam dan ngamukan.

Cukuplah sudah kisah buruk ini berlangsung. Saatnya untuk sadar dan bangun dari mimpi buruk. Mimpi buruk memang tidak disadari sampai terbangun. Kemabukan memang tidak disadari sampai siuman.

Kekuatan dan keperkasaan bukanlah saat bisa menghajar sesama, melainkan saat mampu mengampuni dan mengulurkan tangan persahabatan, persaudaraan dan cinta.

“Melakukan pengamatan adalah sumber kebijaksanaan hidup yang terbesar” 

Tidak semua yang berdiri di mimbar/podium karena memiliki kemampuan, pengetahuan dan terlebih kebijaksanaan sehingga bisa dijadikan panutan. Mereka tidak pernah bisa mewakili orang lain apalagi bicara mewakili Tuhan. Mereka hanya mewakili diri dan kepentingan mereka sendiri. Cerna, pikirkan dan renungkan lebih dalam serta lakukan verifikasi kebenarannya.


...((( 💓 )))...



No comments:

Post a Comment