Thursday 23 August 2018

Hafalan Mematikan Daya Pikir Kritis

Kita lebih banyak diajari dengan cara menghafal. Menghafal adalah tindakan mengingat dengan anggapan yang dihafalkan adalah tepat.

Kita kurang dilatih untuk berpikir kritis, mengamati, menganalisa, membuat kesimpulan dan melakukan tindakan untuk menguji kebenarannya.

Pola menghafal itu yang dianggap benar, apalagi jika berurusan dengan keyakinan keagamaan. Tidak ada ruang berpikir kritis dan mempertanyakannya akan dianggap kesalahan.

Dosa kesombongan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang bersikap kritis menggunakan pikirannya. Mereka tidak disukai sebab dianggap mengganggu kenyamanan dan merusak kaidah, aturan dan ajaran.

Contoh, Syeh Siti Jenar dinilai sesat karena kekritisannya terhadap praktek beragama, yang menimbulkan banyak konflik dan korban dalam syiar agama. Cerita bahwa Syeh Siti Jenar dihukum dengan dibunuh adalah suatu tanda kontradiksi dengan keyakinan akan Tuhan yang Maha Cinta dan Pengampun. Hanya yang mau berpikir dengan damai dan jernih yang mampu menyadari hal ini.

RA Kartini juga dianggap pemberontak karena banyak berpikir kritis dan meletakkan pondasi dilakukannya penerjemahan Qur'an ke bahasa lokal agar orang benar-benar memahami isinya bukan sekedar hafalan tanpa mengerti arti satu katapun dari yang dihafalkan dan dianggap kebenaran mutlak.

Upaya-upaya untuk membangunkan manusia dari tidurnya yang panjang terus dilakukan dari generasi ke generasi.

Bell awakening call (panggilan untuk bangun) semakin keras berbunyi.

“Kehidupan ini adalah ujian yang paling sulit. Banyak orang gagal karena mereka menyalin jawaban orang lain, tidak menyadari bahwa setiap orang diberi lembar soal dengan pertanyaan yang berbeda.” 

No comments:

Post a Comment